Kamis, 01 Desember 2016

Sabtu, 22 Oktober 2016

Industrial







Industrial #roket #totem #art
Nandur Srawung #3 TBY (Taman Budaya Yogyakarta)

Sabtu, 01 Oktober 2016

OUT NOW! MKzine #7


MKzine #7
the artists :
Aditya | Andi Suryo | Angel Melani | Antonius Ipur 
Danang Catur | Desta | Dzaky | Farah | Iwank
Ridha | Upit Dyoni | Wijaseta | Yudha Sandy

Kamis, 29 September 2016

Mural HaNaCaRaKa - Mulyakarya

Video Dokumentasi Mural HaNaCaRaKa oleh Yusron Fuady


YOGYATOURIUM COMMISSION WORK: HaNaCaRaKa
Dalam Projek ini Dagadu Djokdja berkolaborasi dengan kelompok seniman Mulyakarya, menerjemahkan gagasan mengenai asal mula aksara Jawa “HaNaCaRaKa” dalam bentuk komik yang diaplikasikan di salah satu dinding Yogyatourium. Karya kerja kolektif ini memuat pemunculan gagasan, pengembangan rancangan, hingga penyelesaian kreatif dalam bentuk seni visual. Projek ini sekaligus membuka komunikasi dan partisipasi antara Dagadu Djokdja dengan institusi, komunitas, dan praktisi bidang desain di kota Yogyakarta.

MULYAKARYA
Mulyakarya adalah sebuah media independen yang digagas dan dibuat oleh Danang Catur dan Yudha Sandhy pada tahun 2007 di Yogyakarta. Media ini bertujuan untuk menampung dan mempublikasikan karya­karya seni rupa alternatif perupa­-perupa independen terutama yang berada di Yogyakarta. Embrio Mulyakarya adalah komik katalog. Komik katalog ini berisi review komik­-komik 
self­publish terbaru yang ada di Yogyakarta. Katalog ini sudah terbit 3 edisi. Dicetak 1000 lembar dan disebar gratis. Komik katalog ini kini berubah menjadi format menjadi Takalog dan masih berlanjut sampai sekarang (dicetak terbatas dan dijual). Pada perkembangannya Mulyakarya menjadi sebuah komunitas yang terdiri dari komikus dan perupa. Mulyakarya juga aktif berkegiatan seni rupa workshop, public project, sampai pameran. Anggota yang aktif sampai saat ini ada 5 orang: Erwan Hersi Susanto a.k.a Iwank, Antonius Ipur, Upit Dyoni, Danang Catur, dan Yudha Shandy.

YOGYATOURIUM
Sejak 21 tahun yang lalu Dagadu Djokdja tetap mengusung tema seputar Yogyakarta, perkembangan serta peristiwa yang menyertainya dengan daya ungkap bermain­-main yang mudah difahami dalam setiap desain maupun aktivitasnya. Dalam perkembangannya Dagadu Djokdja mengupayakan salah satu fasilitas bernama Yogyatourium. Fasilitas ini tak hanya berfungsi sebagai gerai penjualan produk­-produk Dagadu Djokdja namun sekaligus menempatkan diri sebagai Creative Space.Yogyatourium adalah ruang yang memfasilitasi ekspresi kreatif anak muda atau warga kota khususnya dalam bidang desain. Program – program Yogyatourium melibatkan seniman / warga kota untuk membuat projek kolaborasi.

Rabu, 11 Mei 2016

MURAL @ YOGYATOURIUM DAGADU DJOKDJA




























dokumentasi oleh : Agra Locita

 YOGYATOURIUM, MULYAKARYA, DAN RUANG PUBLIK
“Yogyatourium Creative Space adalah ruang yang memfasilitasi
ekspresi kreatif anak muda atau warga kota khususnya dalam bidang
desain. Program-program Yogyatourium melibatkan seniman/warga
kota untuk membuat proyek kolaborasi”.
Demikian saya kutip pernyataan dari profil proyek Yogyatourium
Commission Work: HaNaCaRaKa. Yogyatourium Creative Space (YCS)
adalah sebuah institusi bisnis produk kreatif di bawah payung merek
Dagadu Djokdja, yang terletak di Jl. Gedongkuning Selatan No. 128,
Yogyakarta. Institusi ini mengembangkan diri, dan menyediakan
berbagai ruang untuk mengundang publik agar terlibat dalam berbagai
aktivitas.
Sejak menjelang Ramadhan 1436 H/pertengahan Juni 2015 YCS
membuat proyek seni rupa, mengolah dan menggubah legenda klasik
yang bersumber dari huruf Jawa “HaNaCaRaKa...”. Berkolaborasi
dengan kelompok seniman yang tergabung dalam media Mulyakarya,
bersama-sama menggagas komik, yang kemudian diaplikasikan di
sebentang dinding lengkung ruang bangunan Yogyatourium. Tak
sekadar memberi dan menerima ‘order’, keduabelah pihak terlibat
diskusi intensif, bagaimana menafsir dan memvisualisasikan teks
HaNaCaRaKa menjadi komik, serta akhirnya mewujudkannya pada
dinding ruang YCS.
Model kerja kreatif emansipatoris dan partisipatoris semacam ini
perlu dikembangkan dalam skala yang lebih luas, baik area maupun
partisipannya. Karena dengan modus semacam itu, akan terjadi dialog
dan ‘pengalaman mengalami’ sebagai bagian penting dari proses
kreatif dan proses edukasi. Setiap yang terlibat, apalagi dengan
pengalaman yang mengesankan, akan menularkan atau menceritakan
pengalamannya pada orang lain. Dampaknya akan menggugah orang
lain dalam mengapresiasi karya seni, atau bahkan kepingin memiliki
pengalaman yang sama. Proses berkesenian dan hasil karya seni
sesungguhnya merupakan virus yang berpotensi kuat mengedukasi
masyarakat dalam banyak hal.
Bagi saya pernyataan dan eksperimen proyek ini menarik serta
penting untuk dicatat. Pertama, kehendak YCS ‘mewakafkan’
ruangnya untuk proyek seni publik. Pasti prosedur dan prosesnya tak
sederhana; menyelaraskan antara kepentingan bisnis dan hasrat
berkesenian agar dapat saling memetik keuntungan. Pernyataan yang
saya kutip pada awal catatan ini merupakan sikap YCS yang
memberikan ruang dan tantangan bagi warga kreatif, terutama dalam
perkara desain. Kelonggaran dan tantangan ini menyimpan
konsekuensi untuk ditagih oleh siapapun dan kapanpun yang kepingin
berpartisipasi di YCS. Pada sisi lain, tantangan yang diperuntukkan
khususnya bagi para penggiat desain, bagi saya merupakan terobosan
yang otentik. Selama ini hampir tak ada ruang publik formal yang
menyediakan fasilitas serupa melalui prosedur dan proses diskusi
serius. Akhirnya desain-desain atau karya-karya ruang publik yang
sesungguhnya menarik, seringkali hadir di ruang publik dengan kesan
destruktif. Sekadar menggeneralisasi contoh, dapat kita lihat
coret-moret di setiap ‘dinding kosong’, tak peduli milik privat atau
publik, tak peduli bahwa akhirnya terkesan menjadi ‘sampah’ (sampah
visual). Di kota Yogyakarta, juga meluas di pelosok, di manapun,
aktivitas coret-moret ini seperti tak terkendali, bahkan dalam beberapa
hal sangat merugikan khalayak (rambu-rambu lalu lintas atau
penunjuk jalan termasuk dijadikan sasaran coret-moret itu).
Kedua, apa yang diinisiasi oleh YCS dapat dijadikan model atau
diadopsi oleh institusi manapun, termasuk institusi pemerintah (kota
dan DIY), bagaimana memberikan fasilitasi seniman/desainer dan
karya seni/desainnya di ruang publik. Jika prosedur yang sama
dilakukan oleh banyak institusi, saya meyakini karya-karya yang
mengesankan ekspresi destruksi pada ruang publik, termasuk
percakapan di media sosial yang hangat akhir-akhir ini terkait
karya-karya tiga dimensional di berbagai tempat/ruang di kota
Yogyakarta (kasus ‘kuda egrang’, kemudian ‘patung awas tidak kuat’,
dll) pasti tidak akan terjadi lagi di kota Yogyakarta. Karena pada
dasarnya, berkesenian/berkarya seni di ruang publik tidak sepantasnya
sewenang-wenang memaknai ruang dan membangun anggapan publik
(seolah publik pasti senang dengan karya-karya itu, siapa tahu dapat
digunakan untuk selfie; sebuah anggapan yang merendahkan publik
sekaligus merendahkan diri senimannya sendiri). YCS melewati suatu
prosedur dan proses yang membuat semua pihak mengerahkan daya
kreatif dan memiliki tanggungjawab.
Ketiga, seniman (individu, kelompok, atau komunitas) yang
terlibat (dilibatkan) dalam kerja semacam ini juga menemukan
tantangan yang berbeda. Mulyakarya, sebuah nama yang
disematkan untuk menandai media independen yang digagas oleh
Danang Catur dan Yudha Sandhy pada 2007 (kini ditambah dengan
tiga anggota, Erwan Hersi Susanto a.k.a Iwank, Antonius Ipur, dan Upit
Dyoni), kelimanya lulusan FSR ISI Yogyakarta, mendapatkan
kesempatan pertama untuk kolaborasi seni publik kali ini. Sebagai
penggiat komik, maka proyek ini juga mengolah “kanvas dinding” YCS
menjadi wahana komik HaNaCaRaKa dengan pendekatan dan gaya
anak muda urban masa kini. Perhatikan penggalan dialog dua tokoh
dalam cerita itu, yakni antara Dora dan Sembada berikut ini: (Dora)
“Bung, saya diperintah Bos Aji untuk mengambil Pusakanya.... mana
sini...!!!”, (Sembada) “Weh! Yo ndak isa! Kalo bukan Bos Aji sendiri
yang ngambil, ndak akan saya kasihkan!! Paham?!”. Perhatikan pula
kostum dan properti para tokohnya; eklektik, campur aduk, dan segar.
Itulah tafsir orang-orang muda terhadap berbagai artefak,
termasuk manuskrip. Beragam pendekatan dan gaya dapat dilakukan,
sejauh tak kehilangan substansi cerita (jika itu bertolak dari
manuskrip, babad, atau apalagi bertumpu pada sejarah). Karena
dengan demikian, setiap manuskrip, artefak, bahkan peristiwa sejarah,
berpeluang untuk ditafsir dan diberikan makna baru sesuai konteks
zamannya. Proyek seni Yogyatourium Commission Work: HaNaCaRaKa
dalam pandangan saya berhasil memberikan tafsir sesuai selera
Mulyakarya maupun selera anak muda urban masa kini.
Keempat, khalayak luas dapat menjadi bagian aktif dari proyek
seni semacam ini. Setidaknya mendapatkan ‘bonus’ menarik (dan
edukatif) dari sebuah ruang belanja, berupa gambar-gambar di dinding
yang pada akhirnya memiliki watak memaksa para pengunjung untuk
berhenti; mengamati (membaca), mungkin mengoreksi, mungkin
(suatu ketika) menambahi; juga mendapatkan katalog atau komik,
atau brosur sebagai tambahan kenang-kenangan perjalanan. Maka,
proyek ini juga memiliki makna sebagai penanda kota, yang akan
terbawa pulang ke segala penjuru asal pengunjung. Siapa tahu
menjadi virus kreatif yang menular di berbagai kota dalam berbagai
modifikasi. Siapa tahu!!! Meski saya tahu, otentisitas tetap menjadi
milik YCS - Dagadu Djokdja. Apalagi jika virus itu sekadar menimbulkan
hasrat sekadar ingin meniru, proyek seni YCS tetap yang akan
dikenang dan disebut pertamakali. Bukankah Dagadu Djokdja sebagai
brand sudah cukup kenyang dengan pengalaman dijiplak/dibajak
produknya, tetapi tidak juga tumbang? Hal itu disebabkan karena
kekuatan otentisitas ditambah daya kreatif yang justru semakin subur
sebagai tantangan para aparatus YCS - Dagadu Djokdja.
Kelima, proyek seni tidak permanen ini berpotensi menjadi selling
point YCS – Dagadu Djokdja, karena “karya seni yang asli” hanya
terbatas untuk bisa dilihat langsung. Karena dalam durasi tertentu
(satu atau dua tahun?) “kanvas” berupa dinding ruang segera ditutup
dengan cat, menjadi “kanvas” atau “ruang” baru yang siap diisi oleh
seniman berikutnya. Kondisi demikian itu dapat menjadi bahan
promosi marketing YCS – Dagadu Djokdja dengan menarik, tidak saja
bertujuan untuk ‘pasar’ (ekonomi) tetapi juga kampanye tentang
model pemberdayaan ruang publik. Sementara kelompok atau
komunitas perupa/desainer lainnya siap-siap untuk mengajukan
proposal yang otentik, yang beda, yang lebih menarik, yang lebih
edukatif, agar dapat diterima sebagai proyek seni commission work
berikutnya.
Akhir catatan ini, saya menyambut gembira disertai ucapan
selamat kepada Yogyatourium Creative Space dan Mulyakarya atas
hasil kolaborasi kerja seninya. Semoga menjadi pemantik inspirasi bagi
banyak pihak.

Yogyakarta, Agustus 2015
Suwarno Wisetrotomo
Dosen di Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta /
Kurator Galeri Nasional Indonesia